A. Pendahuluan
Piagam Madinah
adalah sebuah loncatan besar pemikiran modern yang dibuat oleh Muhammad sebagai
perwakilan dunia Timur disaat bangsa Barat berkutat dalam abad kegelapan yang
berkepanjangan. Bahkan piagam ini secara argumentatif telah dianggab sebagai
konstitusi atau undang – undang dasar tertulis pertama di dunia dengan berbagai
kelebihan yang salah satunya sebagai naskah tertulis pertama yang mengamodisi
hak – hak dasar manusia (HAM) terutama dalam kebebasan memilih agama.
Atas dasar itulah
penulis mencoba menyusun makalah dengan judul “Sejarah terbentuknya piagam
Madinah sebagai konstitusi negara dan keotentikannya”.
Dalam makalah ini
penulis uraikan bagaimana penyusunan dan keotentikan piagam Madinah sebagai
konstitusi negara dan isi pokoknya.
B. Konstitusi
Sebagai Unsur Dalam Konsep Politik
Hakikat politik
tidak dapat dipisahkan dari aspek konstitusional. Konstitusi adalah dasar hukum
yang tertulis ataupun tidak yang mengatur penyelenggaraan pemerintahan sebuah
negara. Ia memuat pengorganisasian jabatan – jabatan kenegaraan lembaga yang
memerintah dan tujuan yang hendak dicapai.[1]
Dengan makna
seperti ini, konstitusi merupakan hukum dasar yang menjadi norma sekaligus sebagai
sumber hukum dan juga berfungsi sebagai dasar struktural bagi sistem politik
serta dasar keabsahan kekuasaan politik yang dimiliki lembaga – lembaga politik
sehingga mereka dapat menyelenggarakan fungsi – fungsi yang dimilikinya. Karena
itu dapat disimpulkan bahwa konstitusi merupakan sebuah unsur dalam konsep
politik yang membangun struktur dari sistem politik dan menetapkan fungsi –
fungsinya.
Dalam kaitan ini,
al – Qur’an merupakan dasar hukum, ia tidak dapat dipandang sebagai konstitusi
seperti yang dikenal dalam kepustakaan politik. Hal itu disebabkan karena
selain berfungsi sebagai hukum dasar, konstitusi juga memuat unsur – unsur lain
seperti struktur dan fungsi – fungsi politik, hubungannya satu sama lain serta
hak – hak kewargaan. Unsur – unsur seperti ini tidak terkandung secara
eksplisit, tetapi dapat dirumuskan dari ajaran – ajaran politik yang terkandung
dalam al – Qur’an.[2]
Kesimpulan ini
berimplementasi perlunya perumusan sebuah konstitusi bagi sistem politik Islam.
Dengan begitu sistem poltik tidak hanya mempunyai landasan ideal dini, tetapi
juga landasan struktural operasional. Piagam Madinah merupakan contoh sederhana
dari sebuah konstitusi sistem politik Islam.
C. Penyusunan
Piagam Madinah
1. Langkah –
langkah Nabi Muhammad saw. membentuk negara Madinah
Pada periode Madinah,
Islam merupakan kekuatan politik, nabi Muhammad saw. mempunyai kedudukan bukan
saja sebagai kepala agama, tetapi juga sebagai kepala negara. Dengan kata lain,
dalam diri nabi terkumpul dua kekuasaan, kekuasaan spiritual dan kekuasaan
duniawi. Kedudukannya sebagai Rasul secara otomatis merupakan negara.
Dalam rangka
memperkokoh masyarakat dan negara Madinah, nabi Muhammad saw. meletakkan dasar
– dasar kehidupan bermasyarakat :
Dasar pertama : pembangunan masjid selain untuk tempat shalat juga tempat
bermusyawarah merundingkan masalah – masalah yang dihadapi
Dasar kedua : ukhuwah Islamiyah. Nabi mempersaudarakan antara golongan
muhajirin dan anshar
Dasar ketiga : hubungan persahabatan dengan pihak – pihak lain yang tidak
beragama Islam. Nabi Muhammad saw. mengadakan ikatan – ikatan perjanjian dengan
orang – orang Yahudi, yaitu sebuah piagam yang menjamin kebebasan beragama
orang – orang Yahudi sebagai komunitas dikeluarkan. Dalam pandangan
ketatanegaraan perjanjian ini disebut dengan konstitusi Madinah.[3]
2. Waktu
penyusunan
Mengenai kapan penyusunan
naskah piagam Madinah atau perjanjian tertulis
itu dilakukan oleh nabi yang beliau sebut Shahifat (lembaran tertulis)
dan kitab – kitab tidak didapatkan data tentang ketentuan waktu dan tanggal
yang pasti. Apakah tahun pertama hijriyah atau sebelum perang Badar dan atau
sesudahnya.
Menurut Watt,
para sarjana umumnya berpendapat bahwa piagam itu dibuat pada permulaan periode
Madinah, tahun pertama Hijrah. Walhousen menetapkannya sebelum perang Badar,
sedangkan Hubert Grimne berpendapat bahwa piagam itu dibuah setelah perang
Badar. [4]
Jika pendapat Grimne diikuti tampaknya tidak
sesuai dengan kenyataan sejarah, sebab piagam itu bisa terwujud tentu selah
kedudukan dan kepemimpinan Nabi Muhammad saw. diakui secara umum oleh penduduk
Madinah.[5]
Terdapat
keterangan atau riwayat yang berkenaan dengan pendapat yang mengatakan bahwa
piagam itu dibuat pada tahun pertama hijrah atau sebelum perang Badar, ketika
posisi nabi dan kaum muslimin sebelum perang Badar semakin kuat. Kaum Yahudi
mulai menunjukkan sikap permusuhan secara diam – diam. Tapi karena mereka telah
membuat perjanjian damai dengan nabi saw. dan mereka merasa terikat dengannya,
mereka tidak berani mencetuskannya. Dalam kaitan ini al – Ma’di menulis bahwa
ketika nabi tiba di Madinah, semua orang Yahudi membuat perjanjian damai dengan
beliau, dimana mereka tidak akan mendukung musuh yang menentang beliau. Ka’ab
bin As’ad atas nama Quraisy menandatangani perjanjian itu. Abu Ubaid al – Qasim
bin Sanam (w. 224 H). Al – Thabari dan Ibn al – Atsir juga menulis bahwa
perjanjian dibuat setelah nabi tiba di Madinah sebelum perang Badar dan ditulis
dalam dua peristiwa. Naskah perjanjian pertama dibuat oleh Nabi antara
muhajirin dan anshor di rumah Anas bin Malik, naskah perjanjian kedua dibuat
oleh Nabi dengan melibatkan kaum Yahudi dan terjadi sebelum perang Badar. Kedua
naskah tersebut kemudian dipersatukan oleh para penulis sejarah menjadi satu
naskah.[6]
Sementara Watt
mengemukakan dua kemungkinan. Ketetapan – ketetapan yang terpokok dari
konstitusi itu mungkin dibuat atau set back pada masa hijrah tahun 622 H atau
paling tidak tahun 624 H.bentuk yang sekarang menurutnya berlaku sejak tahun
627 H, karena tiga suku Yahudi terkemuka, yaitu Qainuqa, Quraizhat, dan Nadhir
telah dikeluarkan. Ia juga menyimpulkan bahwa konstitusi itu bukan berasal dari
satu naskah atau dokumen, melainkan kumpulan dari dua dokumen atau lebih.
Kesimpulan ini bukan didasarkan pada peristiwa terjadinya perjanjian itu, seperti
tersebut di atas, tapi pada adanya beberapa pengulangan redaksi atau pasalnya.[7]
3. Keotentikan
Piagam Madinah
Keotentikan
piagam Madinah dapat dilihat dari aspek – aspek muatannya, bahasanya dan
tinjauan ilmu hadis. Dari segi muatan, sebagian ketetapannya menggambarkan
komposisi atau peta sosiologis penduduk Madinah saat itu dan gambaran tersebut
sesuai dengan informasi sejarah dari sumber lain. Kelompok – kelompok yang
disebut dalam teks piagam adalah kelompok muslim, yaitu muhajirin yang berasal
dari Quraisy dan orang – orang Arab muslim dari Yastrib.[8]
Dengan gambaran
teks piagam Madinah tentang komposisi penduduk Madinah tersebut, Watt menulis,
dokumen itu dapat diterima sebagai bukti mengenai situasi politik di Madinah
pada saat permulaan Nabi menetap di sana. Karena itu pula, Watt dan Welhousen
serta Wensinck menilai bahwa dokumen itu otentik. Keotentikannya terletak pada
kandungan dan semangat yang termuat di dalamnya sesuai dengan zaman itu.[9]
Dari segi bahasa,
Shalih Ahmad al – Ali berpendapat bahwa keasliannya tercermin pada Uslub
redaksinya. Teksnya terdiri dari kalimat – kalimat pendek. Banyak pengulangan
yang ditulis dalam satu pola, yaitu kata – kata dan ungkapan yang sesuai dengan
waktu itu menggambarkan semangat zaman. [10]
Keotentikannya
dapat juga ditinjau dari ilmu hadis. Karena lahirnya piagam itu merupakan hasil
perbuatan nabi. Maka ia termasuk hadis. Imam hadis – hadis seperti Imam Ahmad,
Bukhari, Muslim dan Abu Dawud juga para penulis sejarah, seperti Ibn Ishaq, Abu
Ubaid al – Qasim bin Sanam dan ibn Abi Khut Saimat meriwayatkan adanya
perjanjian yang dibuat oleh nabi tersebut dan gambaran garis besar isinya dari
berbagai jalur atau sumber dengan sanat (mata rantai perawi) yang bervariasi.[11]
Riwayat Bukhari
menggambarkan garis besar isi piagam.[12]
عن
ابى جحيفة رض الله عنه قال قلن لعلى رض الله عنه هل محندكم شيء من الدحي الاما فى
كتاب الله قال والدي فلق الحبة وبرأ السة مااعلمه الافهما يعطيه الله رجلا فى القران
ومافى هذه الصحيفة قلن ومافى الصحيفة قال العقل وفكاك الاسير واذ لا يقتل مسلم
بكافر
Dari Abu Juhaifat
ra. ia berkata: aku bertanya kepada Ali, apakah ada pada kamu sesuatu dari
wahyu, selain apa yang terdapat dalam kitab Allah? Ali menjawab : saya tidak
mengetahui kecuali paham yang diberikan Allah kepada manusia dalam al – Qur’an
dan apa yang ada dalam shahifat itu? Ali menjawab : tentang hal tebusan,
tawanan, dan bahwa seorang muslim tidak boleh dibunuh lantaran membunuh seorang
kafir.
Riwayat muslim.[13]
عاصم
الاحول قال : قيل لانس بن مالك بلغك ان رسول الله صلى الله عليه وسلم قال لاحلف فى
الاسلام فقال أنس قد حالف رسول الله صلى الله عليه وسلم بين قريش والانصار فى داره
Ashim M. Ahwal
berkata : dikatakan kepada Anas bin Malik telah sampai kepadamu bahwa Rasulullah
saw. berkata : tidak ada perjanjian persekutuan dalam Islam. Maka Anas berkata
: sesungguhnya Rasulullah saw. telah membuat perjanjian persekutuan antara
orang Quraisy dan Anshar di rumahnya.
Riwayat Abu Daud.[14]
عن عاصم الاحول قال سمعي انس بن مالك
يقول :
حالف
رسول الله صلى الله عليه وسلم بين المهاجرين والانصار فى دارم فقيل له : أليس قال
رسول الله صلى الله عليه وسلم لا حلف فى الاسلام ؟ فقال حلف رسول الله صلى الله
عليه وسلم بين المهاجرين والانصار فى دارنامرتين اوثلاث
Dari Ashim al –
Ahwal berkata : aku mendengar Anas bin Malik berkata : Rasulullah telah membuat
perjanjian persekutuan antara muhajirin dan anshar di rumah kami, lalu kami
katakan kepadanya : bukankah Rasulullah saw. telah bersabda : Tidak ada
perjanjian persekutuan dalam Islam? Kemudian ia berkata : Rasulullah saw. telah
membuat perjanjian persekutuan antara muhajirin dan anshar di rumah kami dua
atau tiga kali.
Dari segi
kesinambungan sanad, sanad riwayat Al – Bukhari, Muslim dan Abu Daud adalah
bersambung. Hal ini dapat dilihat pada tahun wafat atau masa hidup rawi. Dalam
bagian sanad yang menunjukkan bahwa antara rawi di atas dan yang dibawah pernah
bertemu ketika hidup. Dalam riwayat
beberapa orang rawi yang diatas meriwayatkan hadis kepada rawi yang dibawahnya
dan seterusnya.
Dengan demikian hadis
tertulis tentang perjanjian yang dibuat nabi dengan komunitas Yahudi adalah
hadis shahih dan dilihat dari segi rawinya ia termasuk kategori hadis masyhur.
Hadis masyhur menurut ahli hadis (al – Muhaddisin) adalah hadis yang
diriwayatkan oleh tiga orang atau lebih pada setiap thabadat, tetapi tidak
mencapai derajat mutawatir.[15]
Walaupun
berdasarkan penelitian bahwa adanya piagam itu shahih dari segi periwayatannya,
namun masih perlu ditanyakan apakah dengan demikian isinya juga otentik atau
boleh juga tidak. Otentik? Bagi penulis, isinya juga otentik. Karena ia
menggambarkan situasi sosial politik dan budaya masyarakat Madinah waktu itu.
Kemudian kandungan dan spiritnya sesuai atau sejalan dan tidak bertentangan
dengan pandangan ajaran – ajaran dasar Al – Qur’an dalam kaitannya dengan hidup
bermasyarakat.
D. Kedudukan Piagam
Madinah Sebagai Konstitusi Negara dan Isi Pokoknya
1. Istilah yang
digunakan untuk piagam Madinah
Antony Nurding
menyebutkan shalifat sebagai perjanjian aliansi (treaty of alliance).
Menurutnya sejak nabi berada di Madinah kehidupan beliau mengalami perubahan
besar. Tugas beliau bukan hanya sekedar pembimbing spiritual belaka, tetapi
juga sebagai pemimpin bagi penduduk Madinah, suku – suku Arab dan Yahudi, yang
mendambakan keadilan dan pemerintahan yang baik. Untuk itu beliau membuat
“perjanjian persekutuan” antara orang – orang Muslim dan Yahudi agar mereka
tidak saling mengganggu dan menghina. [16]
Para ahli yang
menyebutkan naskah itu sebagai piagam antara lain Emile Dermeghem. Menurutnya
dengan kebajikan piagam itu Muhammad membuat semua penduduk Madinah bersatu di
dalam satu bangsa. Kaum Yahudi bebas menganut agamnya yang mendapat
perlindungan dari kaum muslimin. Karena itu piagam itu tidak membenarkan satu
fraksi menyatakan perang atau membuat aliansi dengan pihak lain tanpa seizin
nabi Muhammad saw. sebagai orbiter untuk semua perselisihan di antara mereka.[17]
Disebut undang –
undang atau konstitusi, menurut Marmadike Pickhtal karena masalah itu
mencerminkan perhatian Muhammad saw. sebagai pemimpin untuk mengatur dan
menetapkan kepentingan umum. Sebagai undang – undang negara (the constituion
of the state). Di dalamnya tulis Muhammad Khalid, terdapat ketetapan
mengenai dasar – dasar negara Islam yang
bekerja untuk mengatur satu ummat dan membentuk suatu masyarakat serta
menegakkan suatu pemerintahan. Karena
itu kata Gibb, undang – undanga legislatif Islam yang pertama itu telah
meletakkan dasar – dasar sosio politik untuk mempersatukan penduduk Madinah dan
ia merupakan hasil dari inisiatif Nabi, bukan dari Wahyu. Wensick melihat
konstitusi itu sebagai dekrit yang menetapkan hubungan tiga golongan, Muhajirin
– Ashar – Yahudi. [18]
2. Prinsip –
prinsip piagam Madinah
Setelah dikaji
dan diteliti secara mendalam, naskah perjanjian tersebt mengandung beberapa
butir prinsip yaitu prinsip – prinsip orang yang muslim dan mukmin adalah ummat
yang satu dan antara mereka dan non muslim adalah ummat yang satu (semua
manusia adalah ummat yang satu), prinsip persatuan dan persaudaraan, prinsip
persamaan, prinsip kebebasan, prinsip tolong menolong dan membela yang
teraniaya. Prinsip hidup bergotong royong, bertetangga, prinsip keadilan,
prinsip musyawarah, prinsip pelaksanaan hukum dan sanksi hukum, prinsip
kebebasan beragama dan hubungan antar pemeluk agama (hubungan antar bangsa /
internasional).[19]
Prinsip – prinsip
tersebut sangat modern untuk masa itu. Bahkan untuk dewasa ini pun tetap
relevan karena nilai – nilainya yang universal. Sebab prinsip – prinsip
tersebut telah menjadi tuntutan berbagai bangsa di dunia agar tegak dalam hidup
bermasyarakat dan bernegara. Yaitu tatanan masyarakat yang demikian adil dan
damai. Karena pada hakikatnya implementasi prinsip – prinsip tersebut merupakan
penghargaan terhadap hak – hak asasi manusia dan akan menumbuhkan demokrasi
dalam berbagai aspek kehidupan. [20]
E. Penutup
Nabi Muhammad
saw. dalam membuat piagam Madinah bukan hanya memperhatikan kepentingan atau
kemashlahatan masyarakat muslim., melainkan juga memperhatikan kemashlahatan
non Muslim. Piagam itu menjadi landasan bagi tujuan utama beliau, yaitu
mempersatukan penduduk Madinah secara integral yang terdiri dari unsur – unsur
hidrogen.
Piagam Madinah
atau konstitusi Madinah yang dibuat untuk mempersatukan kelompok – kelompok
sosial di Madinah menjadi satu ummat dan mengakui hak – hak mereka demi
kepentingan bersama, merupakan contoh tauladan dalam sejarah kemanusiaan dalam
membangun masyarakat yang bercorak majemuk. Bahkan ide – ide dalam ketetapannya
tetap mempunyai relevansi kuat dengan perkembangan dan keinginan masyarakat
internasional dewasa ini dan telah menjadi pandangan hidup modern berbagai negara di dunia. Hal ini dibandingkan dengan
isi berbagai piagam, konstitusi dan deklarasi hak asasi manusia yang lahir
puluhan abad kemudian sesudah lahirnya Konstitusi Madinah.
[1] Abdul Muin Salim, Fiqih Siyasah Konsepsi Kekuasaan Politik dalam Al
Qur’an, Sitafindo, Jakarta, 2002, hlm. 47 – 48
[2] Abdul Muin Salim, Ibid, hlm. 292
[3] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiyah II, Grafindo
Persada, Jakarata, 2008, hlm. 26 – 27
[4] J. Suyuthi Pulungan, Prinsip – Prinsip Pemerintahan dalam Piagam
Madinah ditinjau dari sudut pandang al – Qur’an, Grafindo Persada, Jakarta,
1994, hlm. 87 – 88
[5] Ibid
[6] Ibid
[7] Ibid
[8] Ibid, hlm. 92 – 93
[9] Ibid, hlm. 95 – 96
[10] Ibid, hlm. 96
[11] Ibid
[12] Al – Bukhari, Shahih al – Bukhari, Jilid III, Juz 8, Daar al –
Sya’ab, tt, tth, hlm. 27
[13] Muslim, Shahih Muslim, Daar al- Sya’ab, Kairo, tt, hlm. 389
[14] Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, Jilid II, Maktabah Mushthafaal, Bab
al – Harabi, Mesir, 1952, hlm. 117
[15] J. Suyuthi Pulungan, Ibid, hlm. 115
[16] J. Suyuthi Pulungan, Ibid, hlm. 108
[17] Ibid, hlm. 109
[18] Ibid, hlm. 110
[19] J. Suyuthi Pulungan, Fiqh Siyasah, ajaran sejarah dan pemikiran, Kencana,
Jakarta, 2002, hlm. 05
[20] Ibid, hlm. 86
Good post.
BalasHapus