Minggu, 27 Desember 2015

SEJARAH TERBENTUKNYA PIAGAM MADINAH MENJADI KONSTITUSI NEGARA DAN KEOTENTIKANNYA


SEJARAH TERBENTUKNYA PIAGAM MADINAH MENJADI KONSTITUSI NEGARA DAN KEOTENTIKANNYA

A.    Pendahuluan
Piagam Madinah adalah sebuah loncatan besar pemikiran modern yang dibuat oleh Muhammad sebagai perwakilan dunia Timur disaat bangsa Barat berkutat dalam abad kegelapan yang berkepanjangan. Bahkan piagam ini secara argumentatif telah dianggab sebagai konstitusi atau undang – undang dasar tertulis pertama di dunia dengan berbagai kelebihan yang salah satunya sebagai naskah tertulis pertama yang mengamodisi hak – hak dasar manusia (HAM) terutama dalam kebebasan memilih agama.
Atas dasar itulah penulis mencoba menyusun makalah dengan judul “Sejarah terbentuknya piagam Madinah sebagai konstitusi negara dan keotentikannya”.
Dalam makalah ini penulis uraikan bagaimana penyusunan dan keotentikan piagam Madinah sebagai konstitusi negara dan isi pokoknya.

B.     Konstitusi Sebagai Unsur Dalam Konsep Politik
Hakikat politik tidak dapat dipisahkan dari aspek konstitusional. Konstitusi adalah dasar hukum yang tertulis ataupun tidak yang mengatur penyelenggaraan pemerintahan sebuah negara. Ia memuat pengorganisasian jabatan – jabatan kenegaraan lembaga yang memerintah dan tujuan yang hendak dicapai.[1]
Dengan makna seperti ini, konstitusi merupakan hukum dasar yang menjadi norma sekaligus sebagai sumber hukum dan juga berfungsi sebagai dasar struktural bagi sistem politik serta dasar keabsahan kekuasaan politik yang dimiliki lembaga – lembaga politik sehingga mereka dapat menyelenggarakan fungsi – fungsi yang dimilikinya. Karena itu dapat disimpulkan bahwa konstitusi merupakan sebuah unsur dalam konsep politik yang membangun struktur dari sistem politik dan menetapkan fungsi – fungsinya.
Dalam kaitan ini, al – Qur’an merupakan dasar hukum, ia tidak dapat dipandang sebagai konstitusi seperti yang dikenal dalam kepustakaan politik. Hal itu disebabkan karena selain berfungsi sebagai hukum dasar, konstitusi juga memuat unsur – unsur lain seperti struktur dan fungsi – fungsi politik, hubungannya satu sama lain serta hak – hak kewargaan. Unsur – unsur seperti ini tidak terkandung secara eksplisit, tetapi dapat dirumuskan dari ajaran – ajaran politik yang terkandung dalam al – Qur’an.[2]
Kesimpulan ini berimplementasi perlunya perumusan sebuah konstitusi bagi sistem politik Islam. Dengan begitu sistem poltik tidak hanya mempunyai landasan ideal dini, tetapi juga landasan struktural operasional. Piagam Madinah merupakan contoh sederhana dari sebuah konstitusi sistem politik Islam.

C.    Penyusunan Piagam Madinah
1.      Langkah – langkah Nabi Muhammad saw. membentuk negara Madinah
Pada periode Madinah, Islam merupakan kekuatan politik, nabi Muhammad saw. mempunyai kedudukan bukan saja sebagai kepala agama, tetapi juga sebagai kepala negara. Dengan kata lain, dalam diri nabi terkumpul dua kekuasaan, kekuasaan spiritual dan kekuasaan duniawi. Kedudukannya sebagai Rasul secara otomatis merupakan negara.
Dalam rangka memperkokoh masyarakat dan negara Madinah, nabi Muhammad saw. meletakkan dasar – dasar kehidupan bermasyarakat :
Dasar pertama : pembangunan masjid selain untuk tempat shalat juga tempat bermusyawarah merundingkan masalah – masalah yang dihadapi
Dasar kedua : ukhuwah Islamiyah. Nabi mempersaudarakan antara golongan muhajirin dan anshar
Dasar ketiga : hubungan persahabatan dengan pihak – pihak lain yang tidak beragama Islam. Nabi Muhammad saw. mengadakan ikatan – ikatan perjanjian dengan orang – orang Yahudi, yaitu sebuah piagam yang menjamin kebebasan beragama orang – orang Yahudi sebagai komunitas dikeluarkan. Dalam pandangan ketatanegaraan perjanjian ini disebut dengan konstitusi Madinah.[3]
2.      Waktu penyusunan
Mengenai kapan penyusunan naskah piagam Madinah atau perjanjian tertulis  itu dilakukan oleh nabi yang beliau sebut Shahifat (lembaran tertulis) dan kitab – kitab tidak didapatkan data tentang ketentuan waktu dan tanggal yang pasti. Apakah tahun pertama hijriyah atau sebelum perang Badar dan atau sesudahnya.
Menurut Watt, para sarjana umumnya berpendapat bahwa piagam itu dibuat pada permulaan periode Madinah, tahun pertama Hijrah. Walhousen menetapkannya sebelum perang Badar, sedangkan Hubert Grimne berpendapat bahwa piagam itu dibuah setelah perang Badar. [4]
 Jika pendapat Grimne diikuti tampaknya tidak sesuai dengan kenyataan sejarah, sebab piagam itu bisa terwujud tentu selah kedudukan dan kepemimpinan Nabi Muhammad saw. diakui secara umum oleh penduduk Madinah.[5]
Terdapat keterangan atau riwayat yang berkenaan dengan pendapat yang mengatakan bahwa piagam itu dibuat pada tahun pertama hijrah atau sebelum perang Badar, ketika posisi nabi dan kaum muslimin sebelum perang Badar semakin kuat. Kaum Yahudi mulai menunjukkan sikap permusuhan secara diam – diam. Tapi karena mereka telah membuat perjanjian damai dengan nabi saw. dan mereka merasa terikat dengannya, mereka tidak berani mencetuskannya. Dalam kaitan ini al – Ma’di menulis bahwa ketika nabi tiba di Madinah, semua orang Yahudi membuat perjanjian damai dengan beliau, dimana mereka tidak akan mendukung musuh yang menentang beliau. Ka’ab bin As’ad atas nama Quraisy menandatangani perjanjian itu. Abu Ubaid al – Qasim bin Sanam (w. 224 H). Al – Thabari dan Ibn al – Atsir juga menulis bahwa perjanjian dibuat setelah nabi tiba di Madinah sebelum perang Badar dan ditulis dalam dua peristiwa. Naskah perjanjian pertama dibuat oleh Nabi antara muhajirin dan anshor di rumah Anas bin Malik, naskah perjanjian kedua dibuat oleh Nabi dengan melibatkan kaum Yahudi dan terjadi sebelum perang Badar. Kedua naskah tersebut kemudian dipersatukan oleh para penulis sejarah menjadi satu naskah.[6]
Sementara Watt mengemukakan dua kemungkinan. Ketetapan – ketetapan yang terpokok dari konstitusi itu mungkin dibuat atau set back pada masa hijrah tahun 622 H atau paling tidak tahun 624 H.bentuk yang sekarang menurutnya berlaku sejak tahun 627 H, karena tiga suku Yahudi terkemuka, yaitu Qainuqa, Quraizhat, dan Nadhir telah dikeluarkan. Ia juga menyimpulkan bahwa konstitusi itu bukan berasal dari satu naskah atau dokumen, melainkan kumpulan dari dua dokumen atau lebih. Kesimpulan ini bukan didasarkan pada peristiwa terjadinya perjanjian itu, seperti tersebut di atas, tapi pada adanya beberapa pengulangan redaksi atau pasalnya.[7]
3.      Keotentikan Piagam Madinah
Keotentikan piagam Madinah dapat dilihat dari aspek – aspek muatannya, bahasanya dan tinjauan ilmu hadis. Dari segi muatan, sebagian ketetapannya menggambarkan komposisi atau peta sosiologis penduduk Madinah saat itu dan gambaran tersebut sesuai dengan informasi sejarah dari sumber lain. Kelompok – kelompok yang disebut dalam teks piagam adalah kelompok muslim, yaitu muhajirin yang berasal dari Quraisy dan orang – orang Arab muslim dari Yastrib.[8]
Dengan gambaran teks piagam Madinah tentang komposisi penduduk Madinah tersebut, Watt menulis, dokumen itu dapat diterima sebagai bukti mengenai situasi politik di Madinah pada saat permulaan Nabi menetap di sana. Karena itu pula, Watt dan Welhousen serta Wensinck menilai bahwa dokumen itu otentik. Keotentikannya terletak pada kandungan dan semangat yang termuat di dalamnya sesuai dengan zaman itu.[9]
Dari segi bahasa, Shalih Ahmad al – Ali berpendapat bahwa keasliannya tercermin pada Uslub redaksinya. Teksnya terdiri dari kalimat – kalimat pendek. Banyak pengulangan yang ditulis dalam satu pola, yaitu kata – kata dan ungkapan yang sesuai dengan waktu itu menggambarkan semangat zaman. [10]
Keotentikannya dapat juga ditinjau dari ilmu hadis. Karena lahirnya piagam itu merupakan hasil perbuatan nabi. Maka ia termasuk hadis. Imam hadis – hadis seperti Imam Ahmad, Bukhari, Muslim dan Abu Dawud juga para penulis sejarah, seperti Ibn Ishaq, Abu Ubaid al – Qasim bin Sanam dan ibn Abi Khut Saimat meriwayatkan adanya perjanjian yang dibuat oleh nabi tersebut dan gambaran garis besar isinya dari berbagai jalur atau sumber dengan sanat (mata rantai perawi) yang bervariasi.[11]
Riwayat Bukhari menggambarkan garis besar isi piagam.[12]
عن ابى جحيفة رض الله عنه قال قلن لعلى رض الله عنه هل محندكم شيء من الدحي الاما فى كتاب الله قال والدي فلق الحبة وبرأ السة مااعلمه الافهما يعطيه الله رجلا فى القران ومافى هذه الصحيفة قلن ومافى الصحيفة قال العقل وفكاك الاسير واذ لا يقتل مسلم بكافر
Dari Abu Juhaifat ra. ia berkata: aku bertanya kepada Ali, apakah ada pada kamu sesuatu dari wahyu, selain apa yang terdapat dalam kitab Allah? Ali menjawab : saya tidak mengetahui kecuali paham yang diberikan Allah kepada manusia dalam al – Qur’an dan apa yang ada dalam shahifat itu? Ali menjawab : tentang hal tebusan, tawanan, dan bahwa seorang muslim tidak boleh dibunuh lantaran membunuh seorang kafir.
Riwayat muslim.[13]
عاصم الاحول قال : قيل لانس بن مالك بلغك ان رسول الله صلى الله عليه وسلم قال لاحلف فى الاسلام فقال أنس قد حالف رسول الله صلى الله عليه وسلم بين قريش والانصار فى داره
Ashim M. Ahwal berkata : dikatakan kepada Anas bin Malik telah sampai kepadamu bahwa Rasulullah saw. berkata : tidak ada perjanjian persekutuan dalam Islam. Maka Anas berkata : sesungguhnya Rasulullah saw. telah membuat perjanjian persekutuan antara orang Quraisy dan Anshar di rumahnya.
Riwayat Abu Daud.[14]
 عن عاصم الاحول قال سمعي انس بن مالك يقول :
حالف رسول الله صلى الله عليه وسلم بين المهاجرين والانصار فى دارم فقيل له : أليس قال رسول الله صلى الله عليه وسلم لا حلف فى الاسلام ؟ فقال حلف رسول الله صلى الله عليه وسلم بين المهاجرين والانصار فى دارنامرتين اوثلاث
Dari Ashim al – Ahwal berkata : aku mendengar Anas bin Malik berkata : Rasulullah telah membuat perjanjian persekutuan antara muhajirin dan anshar di rumah kami, lalu kami katakan kepadanya : bukankah Rasulullah saw. telah bersabda : Tidak ada perjanjian persekutuan dalam Islam? Kemudian ia berkata : Rasulullah saw. telah membuat perjanjian persekutuan antara muhajirin dan anshar di rumah kami dua atau tiga kali.
Dari segi kesinambungan sanad, sanad riwayat Al – Bukhari, Muslim dan Abu Daud adalah bersambung. Hal ini dapat dilihat pada tahun wafat atau masa hidup rawi. Dalam bagian sanad yang menunjukkan bahwa antara rawi di atas dan yang dibawah pernah bertemu  ketika hidup. Dalam riwayat beberapa orang rawi yang diatas meriwayatkan hadis kepada rawi yang dibawahnya dan seterusnya.
Dengan demikian hadis tertulis tentang perjanjian yang dibuat nabi dengan komunitas Yahudi adalah hadis shahih dan dilihat dari segi rawinya ia termasuk kategori hadis masyhur. Hadis masyhur menurut ahli hadis (al – Muhaddisin) adalah hadis yang diriwayatkan oleh tiga orang atau lebih pada setiap thabadat, tetapi tidak mencapai derajat mutawatir.[15]
Walaupun berdasarkan penelitian bahwa adanya piagam itu shahih dari segi periwayatannya, namun masih perlu ditanyakan apakah dengan demikian isinya juga otentik atau boleh juga tidak. Otentik? Bagi penulis, isinya juga otentik. Karena ia menggambarkan situasi sosial politik dan budaya masyarakat Madinah waktu itu. Kemudian kandungan dan spiritnya sesuai atau sejalan dan tidak bertentangan dengan pandangan ajaran – ajaran dasar Al – Qur’an dalam kaitannya dengan hidup bermasyarakat.

D.    Kedudukan Piagam Madinah Sebagai Konstitusi Negara dan Isi Pokoknya
1.      Istilah yang digunakan untuk piagam Madinah
Antony Nurding menyebutkan shalifat sebagai perjanjian aliansi (treaty of alliance). Menurutnya sejak nabi berada di Madinah kehidupan beliau mengalami perubahan besar. Tugas beliau bukan hanya sekedar pembimbing spiritual belaka, tetapi juga sebagai pemimpin bagi penduduk Madinah, suku – suku Arab dan Yahudi, yang mendambakan keadilan dan pemerintahan yang baik. Untuk itu beliau membuat “perjanjian persekutuan” antara orang – orang Muslim dan Yahudi agar mereka tidak saling mengganggu dan menghina. [16]
Para ahli yang menyebutkan naskah itu sebagai piagam antara lain Emile Dermeghem. Menurutnya dengan kebajikan piagam itu Muhammad membuat semua penduduk Madinah bersatu di dalam satu bangsa. Kaum Yahudi bebas menganut agamnya yang mendapat perlindungan dari kaum muslimin. Karena itu piagam itu tidak membenarkan satu fraksi menyatakan perang atau membuat aliansi dengan pihak lain tanpa seizin nabi Muhammad saw. sebagai orbiter untuk semua perselisihan di antara mereka.[17]
Disebut undang – undang atau konstitusi, menurut Marmadike Pickhtal karena masalah itu mencerminkan perhatian Muhammad saw. sebagai pemimpin untuk mengatur dan menetapkan kepentingan umum. Sebagai undang – undang negara (the constituion of the state). Di dalamnya tulis Muhammad Khalid, terdapat ketetapan mengenai dasar – dasar negara Islam  yang bekerja untuk mengatur satu ummat dan membentuk suatu masyarakat serta menegakkan  suatu pemerintahan. Karena itu kata Gibb, undang – undanga legislatif Islam yang pertama itu telah meletakkan dasar – dasar sosio politik untuk mempersatukan penduduk Madinah dan ia merupakan hasil dari inisiatif Nabi, bukan dari Wahyu. Wensick melihat konstitusi itu sebagai dekrit yang menetapkan hubungan tiga golongan, Muhajirin – Ashar – Yahudi. [18]
2.      Prinsip – prinsip piagam Madinah
Setelah dikaji dan diteliti secara mendalam, naskah perjanjian tersebt mengandung beberapa butir prinsip yaitu prinsip – prinsip orang yang muslim dan mukmin adalah ummat yang satu dan antara mereka dan non muslim adalah ummat yang satu (semua manusia adalah ummat yang satu), prinsip persatuan dan persaudaraan, prinsip persamaan, prinsip kebebasan, prinsip tolong menolong dan membela yang teraniaya. Prinsip hidup bergotong royong, bertetangga, prinsip keadilan, prinsip musyawarah, prinsip pelaksanaan hukum dan sanksi hukum, prinsip kebebasan beragama dan hubungan antar pemeluk agama (hubungan antar bangsa / internasional).[19]
Prinsip – prinsip tersebut sangat modern untuk masa itu. Bahkan untuk dewasa ini pun tetap relevan karena nilai – nilainya yang universal. Sebab prinsip – prinsip tersebut telah menjadi tuntutan berbagai bangsa di dunia agar tegak dalam hidup bermasyarakat dan bernegara. Yaitu tatanan masyarakat yang demikian adil dan damai. Karena pada hakikatnya implementasi prinsip – prinsip tersebut merupakan penghargaan terhadap hak – hak asasi manusia dan akan menumbuhkan demokrasi dalam berbagai aspek kehidupan. [20]

E.     Penutup
Nabi Muhammad saw. dalam membuat piagam Madinah bukan hanya memperhatikan kepentingan atau kemashlahatan masyarakat muslim., melainkan juga memperhatikan kemashlahatan non Muslim. Piagam itu menjadi landasan bagi tujuan utama beliau, yaitu mempersatukan penduduk Madinah secara integral yang terdiri dari unsur – unsur hidrogen.
Piagam Madinah atau konstitusi Madinah yang dibuat untuk mempersatukan kelompok – kelompok sosial di Madinah menjadi satu ummat dan mengakui hak – hak mereka demi kepentingan bersama, merupakan contoh tauladan dalam sejarah kemanusiaan dalam membangun masyarakat yang bercorak majemuk. Bahkan ide – ide dalam ketetapannya tetap mempunyai relevansi kuat dengan perkembangan dan keinginan masyarakat internasional dewasa ini dan telah menjadi pandangan hidup modern berbagai  negara di dunia. Hal ini dibandingkan dengan isi berbagai piagam, konstitusi dan deklarasi hak asasi manusia yang lahir puluhan abad kemudian sesudah lahirnya Konstitusi Madinah.




[1] Abdul Muin Salim, Fiqih Siyasah Konsepsi Kekuasaan Politik dalam Al Qur’an, Sitafindo, Jakarta, 2002, hlm. 47 – 48
[2] Abdul Muin Salim, Ibid, hlm. 292
[3] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiyah II, Grafindo Persada, Jakarata, 2008, hlm. 26 – 27
[4] J. Suyuthi Pulungan, Prinsip – Prinsip Pemerintahan dalam Piagam Madinah ditinjau dari sudut pandang al – Qur’an, Grafindo Persada, Jakarta, 1994, hlm. 87 – 88
[5] Ibid
[6] Ibid
[7] Ibid
[8] Ibid, hlm. 92 – 93
[9] Ibid, hlm. 95 – 96
[10] Ibid, hlm. 96
[11] Ibid
[12] Al – Bukhari, Shahih al – Bukhari, Jilid III, Juz 8, Daar al – Sya’ab, tt, tth, hlm. 27
[13] Muslim, Shahih Muslim, Daar al- Sya’ab, Kairo, tt, hlm. 389
[14] Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, Jilid II, Maktabah Mushthafaal, Bab al – Harabi, Mesir, 1952, hlm. 117
[15] J. Suyuthi Pulungan, Ibid, hlm. 115
[16] J. Suyuthi Pulungan, Ibid, hlm. 108
[17] Ibid, hlm. 109
[18] Ibid, hlm. 110
[19] J. Suyuthi Pulungan, Fiqh Siyasah, ajaran sejarah dan pemikiran, Kencana, Jakarta, 2002, hlm. 05
[20] Ibid, hlm. 86